“‟LAGU Anda bagus‟?”
Sandy yang duduk bersila di tempat tidur dengan selimut membungkus tubuh menatap bingung Kang Young-Mi yang duduk di sampingnya. Temannya yang bermata sipit dan berambut lurus panjang tergerai melewati bahu itu balas menatap Sandy dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Aku tidak percaya kau hanya bisa berkata begitu. Kenapa tidak minta tanda tangannya?” Young-Mi melanjutkan dengan nada menuduh.
Sandy mengerang. “Mungkin karena kemarin aku sedang kesal dan lelah… dan lumpuh otak.” Ia memegang pipinya yang agak pucat dan menggeleng-geleng. “Betul, sepertinya otakku benar-benar sudah lumpuh semalam. Bagaimana bisa aku masuk ke mobil bersama dua laki-laki yang tidak kukenal? Dan saat itu sudah hampir tengah malam. Astaga, apa yang sudah kulakukan? Aku bukan orang seperti itu. Tidak, tidak. Aku sudah gila. Syukurlah aku masih beruntung. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa kemarin?”
Kayng Young-Mi mendecakkan lidah. “Hei, kau bukannya bersama orang asing. Kau bersama Jung Tae-Woo. Kenapa kau tidak minta tanda tangannya?” tanyanya sekali lagi, nada penyesalan kental terdengar.
“Jung Tae-Woo orang asing bagiku,” cetus Sandy tegas. “Lagi pula kau tahu sendiri aku bukan penggemarnya, kenapa aku harus minta tanda tangannya?”
“Walaupun bukan penggemarnya, kau kan tahu temanmu yang satu ini penggemar beratnya,” tegur Young-Mi lagi sambil menekankan telapak tangan di dada. “Aku sudah begitu setia menunggu kemunculannya lagi selama empat tahun ini. Setidaknya kau bisa minta tanda tangannya untukku… Tidak semua orang bisa bertemu langsung dengan Jung Tae-Woo, kau tahu? Dan kemarin, entah dengan keajaiban apa, kau bertemu dengannya, kau bicara dengannya, dan dia bahkan mengantarmu dengan mobilnya.”
“Mobil temannya,” sela Sandy. “Temannya juga ada di sana.”
Young-Mi tidak mengacuhkan Sandy. “Kau naik mobil bersamanya. Haah, kalau aku jadi kau, aku akan—“
“Hei, Kang Young-Mi!”
Sikap Young-Mi melunak. “Aku tahu, aku tahu. Tapi kalau lain kali kau bertemu dengannya, jangan lupa minta tanda tangan untukku.”
Sandy membaringkan diri ke tempat tidur. “Kalau aku bertemu dengannya lagi,” gumamnya lirih. Pandangannya menerawang. “Kalau aku bertemu dengannya lagi.”
Young-Mi bermain-main dengan salah satu ujung selimut Sandy lalu tiba-tiba menyeletuk,” Oh ya, kudengar Jung Tae-Woo itu sebenarnya gay. Aku tidak tahu gosip itu benar atau tidak, meski aku bisa mati karena kecewa kalau dia benar-benar gay. Kemarin kau bertemu langsung dengannya. Menurutmu bagaimana? Sikapnya seperti apa? Apakah dia kelihatan normal-normal saja? Terlihat berbeda? Apakah penampilannya berubah setelah bertahun-tahun menghilang?”
Sandy mengerutkan kening dan berpikir. “Entahlah, aku tidak merasa ada yang aneh pada dirinya. Biasa saja. Aduh, aku kan sudah bilang bahwa kemarin aku lumpuh otak. Aku bahkan tidak ingat lagi baju apa yang dipakainya.”
Young-Mi menatap prihatin temannya. “Kau benar-benar tidak berguna. Hanya kau yang bisa demam di musim panas seperti ini. Kepalamu masih sakit? Sudah baikan, belum?”
Sandy tidak menjawab pertanyaan itu. Ia sedang memikirkan hal lain. Kemudian ia menggigit bibir dan bertanya, “Young-Mi, sebenarnya apa yang kau suka dari Jung Tae-Woo? Kenapa kau begitu tergila-gila padanya?”
Senyum Kang Young-Mi mengembang. “Karena dia tampan, lucu, pandai menyanyi—aduh, suaranya bagus sekali—dan karena dia menulis lagu-lagu yang begitu romantis dan menyentuh. Oh ya, album barunya akan diluncurkan sebentar lagi. Ah, aku sudah tidak sabar.”
“Begitu?”
Tiba-tiba Young-Mi memekik dan membuat Sandy terperanjat.
“Kenapa? Ada apa?” tanya Sandy begitu melihat Young-Mi meraih tasnya yang tergeletak di lantai dengan kasar dan mulai mencari-cari sesuatu di dalamnya.
“Bodohnya aku, bodohnya aku,” gumam Young-Mi berulang-ulang. “Seharusnya aku langsung tahu begitu kau menceritakannya padaku.”
“Apa?” tanya Sandy heran.
Sandy yang duduk bersila di tempat tidur dengan selimut membungkus tubuh menatap bingung Kang Young-Mi yang duduk di sampingnya. Temannya yang bermata sipit dan berambut lurus panjang tergerai melewati bahu itu balas menatap Sandy dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Aku tidak percaya kau hanya bisa berkata begitu. Kenapa tidak minta tanda tangannya?” Young-Mi melanjutkan dengan nada menuduh.
Sandy mengerang. “Mungkin karena kemarin aku sedang kesal dan lelah… dan lumpuh otak.” Ia memegang pipinya yang agak pucat dan menggeleng-geleng. “Betul, sepertinya otakku benar-benar sudah lumpuh semalam. Bagaimana bisa aku masuk ke mobil bersama dua laki-laki yang tidak kukenal? Dan saat itu sudah hampir tengah malam. Astaga, apa yang sudah kulakukan? Aku bukan orang seperti itu. Tidak, tidak. Aku sudah gila. Syukurlah aku masih beruntung. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa kemarin?”
Kayng Young-Mi mendecakkan lidah. “Hei, kau bukannya bersama orang asing. Kau bersama Jung Tae-Woo. Kenapa kau tidak minta tanda tangannya?” tanyanya sekali lagi, nada penyesalan kental terdengar.
“Jung Tae-Woo orang asing bagiku,” cetus Sandy tegas. “Lagi pula kau tahu sendiri aku bukan penggemarnya, kenapa aku harus minta tanda tangannya?”
“Walaupun bukan penggemarnya, kau kan tahu temanmu yang satu ini penggemar beratnya,” tegur Young-Mi lagi sambil menekankan telapak tangan di dada. “Aku sudah begitu setia menunggu kemunculannya lagi selama empat tahun ini. Setidaknya kau bisa minta tanda tangannya untukku… Tidak semua orang bisa bertemu langsung dengan Jung Tae-Woo, kau tahu? Dan kemarin, entah dengan keajaiban apa, kau bertemu dengannya, kau bicara dengannya, dan dia bahkan mengantarmu dengan mobilnya.”
“Mobil temannya,” sela Sandy. “Temannya juga ada di sana.”
Young-Mi tidak mengacuhkan Sandy. “Kau naik mobil bersamanya. Haah, kalau aku jadi kau, aku akan—“
“Hei, Kang Young-Mi!”
Sikap Young-Mi melunak. “Aku tahu, aku tahu. Tapi kalau lain kali kau bertemu dengannya, jangan lupa minta tanda tangan untukku.”
Sandy membaringkan diri ke tempat tidur. “Kalau aku bertemu dengannya lagi,” gumamnya lirih. Pandangannya menerawang. “Kalau aku bertemu dengannya lagi.”
Young-Mi bermain-main dengan salah satu ujung selimut Sandy lalu tiba-tiba menyeletuk,” Oh ya, kudengar Jung Tae-Woo itu sebenarnya gay. Aku tidak tahu gosip itu benar atau tidak, meski aku bisa mati karena kecewa kalau dia benar-benar gay. Kemarin kau bertemu langsung dengannya. Menurutmu bagaimana? Sikapnya seperti apa? Apakah dia kelihatan normal-normal saja? Terlihat berbeda? Apakah penampilannya berubah setelah bertahun-tahun menghilang?”
Sandy mengerutkan kening dan berpikir. “Entahlah, aku tidak merasa ada yang aneh pada dirinya. Biasa saja. Aduh, aku kan sudah bilang bahwa kemarin aku lumpuh otak. Aku bahkan tidak ingat lagi baju apa yang dipakainya.”
Young-Mi menatap prihatin temannya. “Kau benar-benar tidak berguna. Hanya kau yang bisa demam di musim panas seperti ini. Kepalamu masih sakit? Sudah baikan, belum?”
Sandy tidak menjawab pertanyaan itu. Ia sedang memikirkan hal lain. Kemudian ia menggigit bibir dan bertanya, “Young-Mi, sebenarnya apa yang kau suka dari Jung Tae-Woo? Kenapa kau begitu tergila-gila padanya?”
Senyum Kang Young-Mi mengembang. “Karena dia tampan, lucu, pandai menyanyi—aduh, suaranya bagus sekali—dan karena dia menulis lagu-lagu yang begitu romantis dan menyentuh. Oh ya, album barunya akan diluncurkan sebentar lagi. Ah, aku sudah tidak sabar.”
“Begitu?”
Tiba-tiba Young-Mi memekik dan membuat Sandy terperanjat.
“Kenapa? Ada apa?” tanya Sandy begitu melihat Young-Mi meraih tasnya yang tergeletak di lantai dengan kasar dan mulai mencari-cari sesuatu di dalamnya.
“Bodohnya aku, bodohnya aku,” gumam Young-Mi berulang-ulang. “Seharusnya aku langsung tahu begitu kau menceritakannya padaku.”
“Apa?” tanya Sandy heran.
Young-Mi mengeluarkan tabloid dan membuka-buka halamannya. “Nah, coba kau lihat ini.”
sandy melihat artikel berjudul “Pertemuan Tengah Malam” yang ditunjukkan Young-Mi dan mendadak ia merinding. Artikel itu dilengkapi dua foto Jung Tae-Woo bersama seorang wanita. Wajah wanita itu tidak terlihat jelas, tapi Sandy sudah tentu bisa mengenali dirinya sendiri. Wanita yang bersama Jung Tae-Woo di dalam foto itu adalah dirinya. Astaga! Apa-apaan ini?
Foto pertama memperlihatkan Sandy dan Jung Tae-Woo yang sedang keluar dari rumah artis itu. Kepala Sandy tertunduk ketika difoto sehingga wajahnya tidak terlihat. Sandy ingat saat itu teman Jung Tae-Woo masih berada di dalam rumah sehingga orang itu tidak ikut terfoto.
Foto yang kedua diambil ketika Jung Tae-Woo sedang membuka pintu mobil untuknya. Sosoknya tidak jelas karena terhalang tubuh Jung Tae-Woo. Sandy merasa bersyukur karena wajahnya tidak terlihat.
“Aku sempat melupakan tabloid ini ketika aku mendengar kau sakit,” kata Young-Mi menjelaskan. “Seharusnya aku sudah bisa menduga ketika kau menceritakan apa yang kaualami semalam tadi, tapi anehnya hari ini kerja otakku lambat sekali. Wanita yang di foto itu kau, bukan?”
“Astaga,” gumam Sandy tidak percaya. “Siapa yang mengambil foto-foto ini?”
“Jung Tae-Woo itu artis terkenal,” kata Young-Mi dengan nada aku-tahu-semua-jadi-percaya-saja-padaku. “Tentu saja banyak wartawan yang sibuk mencari berita tentang dirinya. Dan yang satu ini benar-benar berita hebat. Di sini malah ditulis kau kekasih Jung Tae-Woo.”
Sandy menggeleng-geleng dan mengembalikan tabloid itu kepada Young-Mi. Ia masih merinding, “Aku tidak berdua saja dengan Jung Tae-Woo. Paman berkacamata itu, teman Jung Tae-Woo, juga ada bersama kami, seharusnya siapa pun yang mengambil foto ini juga tahu, tapi kenapa jadi begini?”
Kang Young-mi menarik napas panjang. “Sudah kubilang, Jung Tae-Woo itu artis terkenal. Tabloid-tabloid harus mencari berita yang bisa menarik perhatian orang. Kalau kalian bertiga yang ada dalam foto itu, tidak akan ada berita.”
Sandy merasa tubuhnya menggigil. “Untunglah wajahku tidak terlihat. Young-Mi, kuharap kau tidak akan memberitahu siapa pun tentang pertemuanku dengan Jung Tae-Woo.”
Alis Young-Mi terangkat. “Kenapa?”
Sandy mengerutkan kening dan menggaruk kepala. “Enak saja mereka membuat gosip sembarangan. Kekasihnya? Aku? Aku tidak mau terlibat dengan urusan seperti gosip artis…”
sandy melihat artikel berjudul “Pertemuan Tengah Malam” yang ditunjukkan Young-Mi dan mendadak ia merinding. Artikel itu dilengkapi dua foto Jung Tae-Woo bersama seorang wanita. Wajah wanita itu tidak terlihat jelas, tapi Sandy sudah tentu bisa mengenali dirinya sendiri. Wanita yang bersama Jung Tae-Woo di dalam foto itu adalah dirinya. Astaga! Apa-apaan ini?
Foto pertama memperlihatkan Sandy dan Jung Tae-Woo yang sedang keluar dari rumah artis itu. Kepala Sandy tertunduk ketika difoto sehingga wajahnya tidak terlihat. Sandy ingat saat itu teman Jung Tae-Woo masih berada di dalam rumah sehingga orang itu tidak ikut terfoto.
Foto yang kedua diambil ketika Jung Tae-Woo sedang membuka pintu mobil untuknya. Sosoknya tidak jelas karena terhalang tubuh Jung Tae-Woo. Sandy merasa bersyukur karena wajahnya tidak terlihat.
“Aku sempat melupakan tabloid ini ketika aku mendengar kau sakit,” kata Young-Mi menjelaskan. “Seharusnya aku sudah bisa menduga ketika kau menceritakan apa yang kaualami semalam tadi, tapi anehnya hari ini kerja otakku lambat sekali. Wanita yang di foto itu kau, bukan?”
“Astaga,” gumam Sandy tidak percaya. “Siapa yang mengambil foto-foto ini?”
“Jung Tae-Woo itu artis terkenal,” kata Young-Mi dengan nada aku-tahu-semua-jadi-percaya-saja-padaku. “Tentu saja banyak wartawan yang sibuk mencari berita tentang dirinya. Dan yang satu ini benar-benar berita hebat. Di sini malah ditulis kau kekasih Jung Tae-Woo.”
Sandy menggeleng-geleng dan mengembalikan tabloid itu kepada Young-Mi. Ia masih merinding, “Aku tidak berdua saja dengan Jung Tae-Woo. Paman berkacamata itu, teman Jung Tae-Woo, juga ada bersama kami, seharusnya siapa pun yang mengambil foto ini juga tahu, tapi kenapa jadi begini?”
Kang Young-mi menarik napas panjang. “Sudah kubilang, Jung Tae-Woo itu artis terkenal. Tabloid-tabloid harus mencari berita yang bisa menarik perhatian orang. Kalau kalian bertiga yang ada dalam foto itu, tidak akan ada berita.”
Sandy merasa tubuhnya menggigil. “Untunglah wajahku tidak terlihat. Young-Mi, kuharap kau tidak akan memberitahu siapa pun tentang pertemuanku dengan Jung Tae-Woo.”
Alis Young-Mi terangkat. “Kenapa?”
Sandy mengerutkan kening dan menggaruk kepala. “Enak saja mereka membuat gosip sembarangan. Kekasihnya? Aku? Aku tidak mau terlibat dengan urusan seperti gosip artis…”
“Kepalamu masih sakit?” tanya Young-Mi ketika melihat Sandy terdiam sambil memegang dahi.
Sandy menggeleng dan tersenyum. “Tidak, aku sudah baikan. Sepertinya gara-gara kecapekan ditambah stres, akhirnya demam. Tapi sekarang aku sudah tidak apa-apa Young-Mi, kau pulang saja dan bantu ibumu. Sekarang kan jam makan siang. Rumah makan ibumu pasti sedang ramai.”
“Ibuku juga mencemaskanmu, jadi aku diizinkan tinggal lebih lama. Oh ya, ibuku sudah memasak bubur untukmu. Tadi aku taruh di dapur. Kau harus makan, mengerti?” kata Young-Mi sambil mengambil tasnya yang ada di lantai. Ia meletakkan tangannya di kening Sandy dan bergumam, “Sudah tidak panas, tapi tetap harus minum obat. Nanti sore aku akan menjengukmu lagi. Kalau ada apa-apa, telepon aku.”
“Kau baik sekali, Young-Mi,” kata Sandy sambil tersenyum. “Sampaikan terima kasihku pada ibumu karena sudah memasak bubur untukku. Ah, tidak usah. Sebaiknya aku sendiri yang meneleponnya dan berterima kasih. Oh ya, kau harus ingat, soal pertemuanku dengan Jung Tae-Woo kemarin malam, jangan kaukatakan pada siapa pun.”
“Ya, ya, aku tahu. Kau tenang saja. Istirahat yang banyak ya. Sampai jumpa,” kata Young-Mi sebelum keluar dari kamar Sandy.
Sandy menggeleng dan tersenyum. “Tidak, aku sudah baikan. Sepertinya gara-gara kecapekan ditambah stres, akhirnya demam. Tapi sekarang aku sudah tidak apa-apa Young-Mi, kau pulang saja dan bantu ibumu. Sekarang kan jam makan siang. Rumah makan ibumu pasti sedang ramai.”
“Ibuku juga mencemaskanmu, jadi aku diizinkan tinggal lebih lama. Oh ya, ibuku sudah memasak bubur untukmu. Tadi aku taruh di dapur. Kau harus makan, mengerti?” kata Young-Mi sambil mengambil tasnya yang ada di lantai. Ia meletakkan tangannya di kening Sandy dan bergumam, “Sudah tidak panas, tapi tetap harus minum obat. Nanti sore aku akan menjengukmu lagi. Kalau ada apa-apa, telepon aku.”
“Kau baik sekali, Young-Mi,” kata Sandy sambil tersenyum. “Sampaikan terima kasihku pada ibumu karena sudah memasak bubur untukku. Ah, tidak usah. Sebaiknya aku sendiri yang meneleponnya dan berterima kasih. Oh ya, kau harus ingat, soal pertemuanku dengan Jung Tae-Woo kemarin malam, jangan kaukatakan pada siapa pun.”
“Ya, ya, aku tahu. Kau tenang saja. Istirahat yang banyak ya. Sampai jumpa,” kata Young-Mi sebelum keluar dari kamar Sandy.
***
Jung Tae-Woo berdiri tegak di dekat jendela besar ruangan kantor manajernya yang berada di lantai 20 gedung pencakar langit. Ia memandang ke luar jendela dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia tidak sedang menikmati pemandangan kota Seoul seperti yang sering dilakukannya pada hari-hari biasa. Pagi ini sebuah tabloid lagi-lagi memuat artikel yang mengomentari gosip gay-nya. Gosip itu merambat dengan kecepatan tinggi. Tidak lama lagi ia pasti akan dimintai penjelasan. Wartawan-wartawan akan mengejarnya… menanyainya… menuntut tanggapannya. Itulah risiko menjadi artis. Kenangan buruk masa lalu itu muncul lagi. Ketika para wartawan mengajukan ribuan pertanyaan tanpa henti, ketika ia merasa begitu frustrasi dan harus bersembunyi untuk menenangkan diri. Kini, dengan adanya gosip baru itu, hari-hari penuh perjuangan akan kembali dimulai… atau apakah sebenarnya sudah dimulai?
“Oh, Tae-Woo, sudah datang rupanya.”
Tae-Woo begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai-sampai ia tidak menyadari manajernya sudah masuk ke kantor itu.
Park Hyun-Shik berjalan ke meja kerjanya dan meletakkan map biru di meja. “Sudah lama?”
“Oh, Tae-Woo, sudah datang rupanya.”
Tae-Woo begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai-sampai ia tidak menyadari manajernya sudah masuk ke kantor itu.
Park Hyun-Shik berjalan ke meja kerjanya dan meletakkan map biru di meja. “Sudah lama?”
Tae-Woo menggeleng dan menghampiri kursi di depan meja. “Baru saja sampai. Ada apa menyuruhku kemari pagi-pagi?”
Park Hyun-Shik menyampirkan jasnya di sandaran kursi lalu membuka map yang tadi diletakkannya di meja. Ia mengeluarkan tabloid dari dalamnya dan menyodorkannya kepada Tae-Woo.
Tae-Woo menerima tabloid yang disodorkan dengan bingung, namun begitu melihat artikel yang ada di sana, raut wajahnya berubah. “Apa-apaan ini? Bagaimana mereka bisa… Ini—“
Tae-Woo memandang manajernya dan yang ditatap mengangguk. “Benar. Ini foto yang diambil kemarin malam ketika kita mengantar gadis itu.”
Dengan kesal Tae-Woo melemparkan tabloid itu ke meja. “Bagus, satu gosip masih tidak cukup rupanya.” Ia duduk dan bersandar di kursi. “Bagaimana mereka bisa mendapatkan foto-foto ini? Apakah menurut Hyong, gadis yang kemarin itu ada hubungannya dengan masalah ini?”
Manajernya menggeleng pelan. “Tidak, kurasa tidak. Meski kemungkinan seperti itu tetap ada, sekecil apa pun, tapi menurutku tidak begitu.”
Tae-Woo mengusap-usap dagu sambil merenung. Ia harus mengakui gadis yang kemarin itu tidak mungkin ada hubungannya dengan gosip ini, tapi…
“Gadis yang kemarin itu, Han Soon-Hee… aku sudah menyelidikinya,” kata Park Hyun-Shik sambil mengulurkan sehelai kertas kepada Tae-Woo. Ia lalu melanjutkan, “Sedang kuliah tahun ketiga dan bekerja sambilan di butik seorang perancang busana. Ibunya orang Indonesia dan ayahnya orang Korea. Ayahnya kepala cabang perusahaan mobil dan ibunya ibu rumah tangga. Dia anak tunggal, lahir di Jakarta dan tinggal di sana sampai usianya sepuluh tahun, lalu karena kontrak kerja ayahnya sudah selesai, mereka sekeluarga pindah ke Seoul. Lima tahun yang lalu orangtuanya pindah kembali ke Jakarta karena ayahnya ditugaskan lagi di sana, sedangkan dia tetap tinggal di Seoul. Latar belakangnya bersih dan sederhana.”
Tae-Woo membaca tulisan pada kertas yang dipegangnya dan tertawa kecil. “Dari mana Hyong mendapatkan semua informasi ini? Sampai tinggi dan berat badannya ada.”
Park Hyun-Shik hanya tersenyum dan mengeluarkan sehelai kertas lain dari dalam mapnya lalu mulai membaca, “Menurut orang-orang yang kenal baik dengannya, Han Soon-Hee wanita baik-baik dan bisa dipercaya. Tidak merokok, tidak pernah mabuk-mabukan, tidak memakai obat-obat terlarang, dan tidak punya catatan kriminal apa pun. Jadi aku berani menyimpulkan dia tidak ada sangkut pautnya dengan foto-foto di tabloid itu.” Lalu ia menyodorkan kertas itu.
Tae-Woo menerima kertas yang disodorkan manajernya.
Park Hyun-Shik menyampirkan jasnya di sandaran kursi lalu membuka map yang tadi diletakkannya di meja. Ia mengeluarkan tabloid dari dalamnya dan menyodorkannya kepada Tae-Woo.
Tae-Woo menerima tabloid yang disodorkan dengan bingung, namun begitu melihat artikel yang ada di sana, raut wajahnya berubah. “Apa-apaan ini? Bagaimana mereka bisa… Ini—“
Tae-Woo memandang manajernya dan yang ditatap mengangguk. “Benar. Ini foto yang diambil kemarin malam ketika kita mengantar gadis itu.”
Dengan kesal Tae-Woo melemparkan tabloid itu ke meja. “Bagus, satu gosip masih tidak cukup rupanya.” Ia duduk dan bersandar di kursi. “Bagaimana mereka bisa mendapatkan foto-foto ini? Apakah menurut Hyong, gadis yang kemarin itu ada hubungannya dengan masalah ini?”
Manajernya menggeleng pelan. “Tidak, kurasa tidak. Meski kemungkinan seperti itu tetap ada, sekecil apa pun, tapi menurutku tidak begitu.”
Tae-Woo mengusap-usap dagu sambil merenung. Ia harus mengakui gadis yang kemarin itu tidak mungkin ada hubungannya dengan gosip ini, tapi…
“Gadis yang kemarin itu, Han Soon-Hee… aku sudah menyelidikinya,” kata Park Hyun-Shik sambil mengulurkan sehelai kertas kepada Tae-Woo. Ia lalu melanjutkan, “Sedang kuliah tahun ketiga dan bekerja sambilan di butik seorang perancang busana. Ibunya orang Indonesia dan ayahnya orang Korea. Ayahnya kepala cabang perusahaan mobil dan ibunya ibu rumah tangga. Dia anak tunggal, lahir di Jakarta dan tinggal di sana sampai usianya sepuluh tahun, lalu karena kontrak kerja ayahnya sudah selesai, mereka sekeluarga pindah ke Seoul. Lima tahun yang lalu orangtuanya pindah kembali ke Jakarta karena ayahnya ditugaskan lagi di sana, sedangkan dia tetap tinggal di Seoul. Latar belakangnya bersih dan sederhana.”
Tae-Woo membaca tulisan pada kertas yang dipegangnya dan tertawa kecil. “Dari mana Hyong mendapatkan semua informasi ini? Sampai tinggi dan berat badannya ada.”
Park Hyun-Shik hanya tersenyum dan mengeluarkan sehelai kertas lain dari dalam mapnya lalu mulai membaca, “Menurut orang-orang yang kenal baik dengannya, Han Soon-Hee wanita baik-baik dan bisa dipercaya. Tidak merokok, tidak pernah mabuk-mabukan, tidak memakai obat-obat terlarang, dan tidak punya catatan kriminal apa pun. Jadi aku berani menyimpulkan dia tidak ada sangkut pautnya dengan foto-foto di tabloid itu.” Lalu ia menyodorkan kertas itu.
Tae-Woo menerima kertas yang disodorkan manajernya.
Park Hyun-Shik menghela napas. “Meski harus diakui… secara tidak langsung, gosip yang satu ini sudah membantu kita,” katanya.
Tae-Woo mengangkat wajah dari kertas di tangannya dan memandang Park Hyun-Shik, menunggu si manajer menjelaskan maksud kata-katanya.
“Bukankah gosip ini dengan sendirinya mematahkan gosip gay-mu? Foto-foto itu memperlihatkan kau bersama seorang wanita di depan rumah pribadimu pada waktu yang sangat mencurigakan,” kata Park Hyun-Shik sambil tersenyum lebar.
Tae-Woo mengangkat wajah dari kertas di tangannya dan memandang Park Hyun-Shik, menunggu si manajer menjelaskan maksud kata-katanya.
“Bukankah gosip ini dengan sendirinya mematahkan gosip gay-mu? Foto-foto itu memperlihatkan kau bersama seorang wanita di depan rumah pribadimu pada waktu yang sangat mencurigakan,” kata Park Hyun-Shik sambil tersenyum lebar.
***
“Aku tahu kau sudah meminta izin untuk tidak datang bekerja hari ini karena tidak enak badan, tapi aku sangat membutuhkanmu sekarang, Miss Han. Saat ini juga. Kami di sini sibuk sekali, apalagi aku, sampai hampir tidak punya waktu untuk menarik napas. Aku terpaksa memintamu datang, Miss Han. Tolong datanglah sekarang. Please… Kau pasti tidak sedang sakit berat. Kalau tidak, saat ini kau pasti sudah diopname di rumah sakit dan bukannya istirahat di rumah. Okay, Miss Han?”
Sandy berbaring di ranjang dengan ponsel menempel di telinga. Ia mendengarkan kata-kata bosnya yang mengalir seperti air bah di ujung sana dengan mata terpejam. Seharusnya ia tidak mengaktifkan ponselnya hari ini. Seharusnya bosnya tidak menghubunginya. Seharusnya bosnya tidak bersikap begini. Orang sakit masa disuruh kerja? Lagi pula ini kan hari Sabtu. Diktator!
“Miss Han? Miss Han? Halooo? Kau mendengarkanku, Miss Han? Aku tidak bisa berbicara lama-lama, Miss Han. Very very busy. Kau akan datang, kan?”
“Ya, ya, Mister Kim. Saya mengerti. Saya akan sampai di sana dalam satu jam,” sahut Sandy malas.
“Kau punya waktu setengah jam untuk sampai di studioku, Miss Han,” kata bosnya sebelum menutup telepon.
Sandy menatap ponselnya dengan hati dongkol. “Lihat saja, kau akan menerima surat pengunduran diriku hari Senin nanti. Drakula! Pengisap darah! Hhh, bisa gila aku!”
Sambil mengumpat, Sandy memaksa dirinya bangkit dan berjalan terseok-seok ke lemari pakaian.
Sandy berbaring di ranjang dengan ponsel menempel di telinga. Ia mendengarkan kata-kata bosnya yang mengalir seperti air bah di ujung sana dengan mata terpejam. Seharusnya ia tidak mengaktifkan ponselnya hari ini. Seharusnya bosnya tidak menghubunginya. Seharusnya bosnya tidak bersikap begini. Orang sakit masa disuruh kerja? Lagi pula ini kan hari Sabtu. Diktator!
“Miss Han? Miss Han? Halooo? Kau mendengarkanku, Miss Han? Aku tidak bisa berbicara lama-lama, Miss Han. Very very busy. Kau akan datang, kan?”
“Ya, ya, Mister Kim. Saya mengerti. Saya akan sampai di sana dalam satu jam,” sahut Sandy malas.
“Kau punya waktu setengah jam untuk sampai di studioku, Miss Han,” kata bosnya sebelum menutup telepon.
Sandy menatap ponselnya dengan hati dongkol. “Lihat saja, kau akan menerima surat pengunduran diriku hari Senin nanti. Drakula! Pengisap darah! Hhh, bisa gila aku!”
Sambil mengumpat, Sandy memaksa dirinya bangkit dan berjalan terseok-seok ke lemari pakaian.
***
Empat puluh tiga menit kemudian, Sandy sudah berdiri di studio Mister Kim, salah satu perancang busana paling populer di Korea. Yang disebut studio oleh bosnya adalah ruang kerja berantakan yang penuh kain berbagai corak, baik kain perca tak berguna maupun kain yang masih baru. Studio itu terletak di lantai teratas gedung berlantai tiga. Butik Mister Kim sendiri terdiri atas dua lantai: lantai pertama diperuntukkan tamu umum sedangkan lantai duanya untuk tamu VIP.
Sandy masuk dan melihat pria setengah baya berpenampilan perlente, berambut dicat merah, dan berkaca-mata itu sedang memandangi model kurus dengan tatapan tidak puas. Lalu dengan sekali sentakan tangan, ia menyuruh model itu pergi dan menyuruh anak buahnya memanggil model lain.
Tepat pada saat model lain masuk ke ruangan, Mister Kim menyadari keberadaan Sandy dan langsung memekik, “Miss Han! Kau terlambat. Kenapa—sebentar…” Ia berpaling ke arah si model yang baru masuk dan berkata ketus, “No, no! Bukan kau. Apa yang harus kulakukan supaya mereka mengerti model seperti apa yang kubutuhkan? Astaga! Panggilkan Mister Cha ke sini.”
Sandy merasa kasihan melihat ekspresi kaget si model wanita. Harus diakui Mister Kim ini bukan orang yang mudah. Kadang-kadang orang jenius memang sulit dibuat senang.
Mister Kim kembali memusatkan perhatian kepada Sandy. “Kau lihat sendiri, Miss Han, kami sedang sibuk sekali untuk fashion show. Tolong kauantarkan pakaian-pakaian untuk dicoba.”
Apa? Untuk dicoba siapa? Pakaian mana? Mister Kim selalu mengharapkan orang lain langsung bisa memahami kata-katanya yang tidak selalu jelas.
“Diantarkan kepada siapa dan dicoba untuk apa, Mister Kim?” tanya Sandy.
Mister Kim menatapnya dengan mata dibelalakkan selebar-lebarnya, setidaknya selebar yang mungkin di lakukan mata yang pada dasarnya sipit. “Astaga, Miss Han. Kau tentu ingat aku pernah bercerita tentang Jung Tae-Woo, bukan? Dia sudah setuju akan memakai pakaian rancanganku dalam setiap penampilannya. Makanya kau cepat-cepatlah pergi ke sana dan pastikan pakaian-pakaian itu sudah cocok dengan ukuran dan seleranya.”
Lalu, sebelum Sandy bertanya lagi dia sudah menunjuk rak pakaian beroda yang ada di dekat pintu, “Itu! Pakaian yang di rak itu!”
Tidak, Anda belum pernah menyebut-nyebut tentang masalah ini kepadaku, gerutu Sandy dalam hati, tapi yang keluar dari mulutnya adalah, “Siapa yang Anda sebut tadi?”
“Jung Tae-Woo. Penyanyi itu. Kau tidak kenal? Sudahlah, kenal atau tidak bukan masalah penting. Sana cepat pergi! Dia sudah menunggu di butik. Ayo sana. Go! Cepat!” katanya sambil mendorong punggung Sandy ke arah pintu keluar studionya.
Sandy masuk dan melihat pria setengah baya berpenampilan perlente, berambut dicat merah, dan berkaca-mata itu sedang memandangi model kurus dengan tatapan tidak puas. Lalu dengan sekali sentakan tangan, ia menyuruh model itu pergi dan menyuruh anak buahnya memanggil model lain.
Tepat pada saat model lain masuk ke ruangan, Mister Kim menyadari keberadaan Sandy dan langsung memekik, “Miss Han! Kau terlambat. Kenapa—sebentar…” Ia berpaling ke arah si model yang baru masuk dan berkata ketus, “No, no! Bukan kau. Apa yang harus kulakukan supaya mereka mengerti model seperti apa yang kubutuhkan? Astaga! Panggilkan Mister Cha ke sini.”
Sandy merasa kasihan melihat ekspresi kaget si model wanita. Harus diakui Mister Kim ini bukan orang yang mudah. Kadang-kadang orang jenius memang sulit dibuat senang.
Mister Kim kembali memusatkan perhatian kepada Sandy. “Kau lihat sendiri, Miss Han, kami sedang sibuk sekali untuk fashion show. Tolong kauantarkan pakaian-pakaian untuk dicoba.”
Apa? Untuk dicoba siapa? Pakaian mana? Mister Kim selalu mengharapkan orang lain langsung bisa memahami kata-katanya yang tidak selalu jelas.
“Diantarkan kepada siapa dan dicoba untuk apa, Mister Kim?” tanya Sandy.
Mister Kim menatapnya dengan mata dibelalakkan selebar-lebarnya, setidaknya selebar yang mungkin di lakukan mata yang pada dasarnya sipit. “Astaga, Miss Han. Kau tentu ingat aku pernah bercerita tentang Jung Tae-Woo, bukan? Dia sudah setuju akan memakai pakaian rancanganku dalam setiap penampilannya. Makanya kau cepat-cepatlah pergi ke sana dan pastikan pakaian-pakaian itu sudah cocok dengan ukuran dan seleranya.”
Lalu, sebelum Sandy bertanya lagi dia sudah menunjuk rak pakaian beroda yang ada di dekat pintu, “Itu! Pakaian yang di rak itu!”
Tidak, Anda belum pernah menyebut-nyebut tentang masalah ini kepadaku, gerutu Sandy dalam hati, tapi yang keluar dari mulutnya adalah, “Siapa yang Anda sebut tadi?”
“Jung Tae-Woo. Penyanyi itu. Kau tidak kenal? Sudahlah, kenal atau tidak bukan masalah penting. Sana cepat pergi! Dia sudah menunggu di butik. Ayo sana. Go! Cepat!” katanya sambil mendorong punggung Sandy ke arah pintu keluar studionya.
***
Sandy mendorong rak beroda yang nyaris terisi penuh pakaian di sepanjang koridor. Masih dengan perasaan sebal, ia berjalan menuju lift. Di tengah jalan Sandy berpapasan dengan penjaga butik yang sudah kenal baik dengannya dan diberitahu Jung Tae-Woo sudah menunggu di lantai dua.
Sesampainya di depan pintu ruang peragaan lantai dua yang memancarkan kesan elite itu, ia berhenti beberapa saat. Ia ragu. Kenapa ia harus bertemu Jung Tae-Woo lagi? Apa yang harus ia katakan kepadanya? Apa yang harus ia lakukan? Apakah laki-laki itu sudah tahu tentang foto-foto yang dimuat di tabloid itu?
Sandy mendesah dan menggigit bibir. Mungkin saja Jung Tae-Woo malah tidak ingat padanya lagi. Sandy mengangguk. Benar, Jung Tae-Woo pasti sudah lupa padanya. Artis-artis pasti sulit mengingat wajah karena setiap hari mereka harus bertemu begitu banyak orang baru. Pasti begitu. Mana mungkin mereka ingat setiap orang yang mereka temui dalam waktu singkat, kan?
Dengan keyakinan itu, Sandy mendorong pintu kaca besar di hadapannya dan melangkah masuk. Ia menarik napas dalam-dalam dan memaksa kakinya terus berjalan.
Sandy berdiri di depan pintu putih salah satu kamar peragaan dan kembali menarik napas. Baiklah, ini saatnya. Lakukan dan selesaikan secepatnya! Tidak usah cemas. Orang itu tidak akan ingat padamu. Kerjakan saja tugasmu.
Ia meraih pegangan pintu dan membukanya.
Sesampainya di depan pintu ruang peragaan lantai dua yang memancarkan kesan elite itu, ia berhenti beberapa saat. Ia ragu. Kenapa ia harus bertemu Jung Tae-Woo lagi? Apa yang harus ia katakan kepadanya? Apa yang harus ia lakukan? Apakah laki-laki itu sudah tahu tentang foto-foto yang dimuat di tabloid itu?
Sandy mendesah dan menggigit bibir. Mungkin saja Jung Tae-Woo malah tidak ingat padanya lagi. Sandy mengangguk. Benar, Jung Tae-Woo pasti sudah lupa padanya. Artis-artis pasti sulit mengingat wajah karena setiap hari mereka harus bertemu begitu banyak orang baru. Pasti begitu. Mana mungkin mereka ingat setiap orang yang mereka temui dalam waktu singkat, kan?
Dengan keyakinan itu, Sandy mendorong pintu kaca besar di hadapannya dan melangkah masuk. Ia menarik napas dalam-dalam dan memaksa kakinya terus berjalan.
Sandy berdiri di depan pintu putih salah satu kamar peragaan dan kembali menarik napas. Baiklah, ini saatnya. Lakukan dan selesaikan secepatnya! Tidak usah cemas. Orang itu tidak akan ingat padamu. Kerjakan saja tugasmu.
Ia meraih pegangan pintu dan membukanya.
***
“Salah seorang anak buahnya akan mengantarkan pakaian-pakaian itu ke sini,” kata Park Hyun-Shik sambil menutup flap ponsel.
Tae-Woo mengembuskan napas keras-keras dan mengempaskan diri ke sofa empuk yang diletakkan di tengah-tengah kamar peragaan. “Sudah kubilang, seharusnya kita tidak usah datang secepat ini.” Ia melirik jam tangannya. “Ah, aku salah, ternyata bukan kita yang datang terlalu cepat. Mereka yang terlambat. Hhh… harus menunggu berapa lama?”
Park Hyun-Shik baru akan menjawab ketika ponselnya berdering untuk kesekian kalinya dalam dua jam terakhir.
Tae-Woo menatap manajernya yang sedang berbicara dengan bahasa formal di ponsel. Sepertinya telepon dari produser atau semacamnya. Park Hyun-Shik memberi isyarat akan keluar sebentar. Tae-Woo mengangguk tak acuh dan Park Hyun-Shik keluar dari ruangan itu.
Tae-Woo mengembuskan napas keras-keras dan mengempaskan diri ke sofa empuk yang diletakkan di tengah-tengah kamar peragaan. “Sudah kubilang, seharusnya kita tidak usah datang secepat ini.” Ia melirik jam tangannya. “Ah, aku salah, ternyata bukan kita yang datang terlalu cepat. Mereka yang terlambat. Hhh… harus menunggu berapa lama?”
Park Hyun-Shik baru akan menjawab ketika ponselnya berdering untuk kesekian kalinya dalam dua jam terakhir.
Tae-Woo menatap manajernya yang sedang berbicara dengan bahasa formal di ponsel. Sepertinya telepon dari produser atau semacamnya. Park Hyun-Shik memberi isyarat akan keluar sebentar. Tae-Woo mengangguk tak acuh dan Park Hyun-Shik keluar dari ruangan itu.
Tae-Woo merebahkan kepala ke sandaran sofa, mencoba mendapatkan kenyamanan. Baru saja ia merasa damai dan hampir terlelap ketika ia mendengar bunyi pintu dibuka dan suara seorang wanita.
“Selamat siang. Maaf membuat Anda menunggu lama.”
Tae-Woo membuka mata. Gadis berambut sebahu dan bertopi merah memasuki ruangan sambil mendorong rak pakaian beroda. Gadis itu membungkuk hormat. Tae-Woo berdiri dan membungkuk sedikit untuk membalas sapaannya.
“Mister Kim meminta saya membawakan pakaian-pakaian ini untuk Anda. Silakan dicoba.” Gadis itu mendorong rak hingga ke ujung ruangan, ke dekat bilik ganti. Ia mengeluarkan salah satu pakaian dari gantungan dan mengulurkannya kepada Tae-Woo. “Silakan dicoba di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah bilik yang tertutup tirai tebal.
Ada perasaan janggal yang mengusik Tae-Woo, tapi ia tidak tahu apa yang membuatnya merasa seperti itu. Ia menerima pakaian yang disodorkan dan beranjak ke bilik ganti.
Selesai mengenakan pakaian, Tae-Woo menyibakkan tirai. Tepat pada saat itu ia melihat gadis yang membawakan pakaian tadi sedang duduk di kursi bulat di samping sofa. Topi merahnya dilepas dan gadis itu sedang menyisir rambutnya yang agak ikal dengan jari-jari tangan. Tae-Woo tertegun dan menatap gadis itu. Itulah kali pertama ia melihat jelas wajah si gadis sejak ia masuk bersama rak pakaian.
Tiba-tiba gadis itu menoleh dengan wajah terkejut, sepertinya ia menyadari sedang diperhatikan. Ia cepat-cepat mengenakan kembali topinya dan berdiri. “Bagaimana? Apakah pakaiannya cocok? Anda suka?”
Bukankah ia gadis yang kemarin ditemuinya? Tidak salah lagi. Tae-Woo masih ingat wajah gadis itu. Wajah yang lelah dan pucat. Gadis yang berdiri di hadapannya ini memang gadis yang kemarin. Wajahnya masih terlihat lelah dan pucat. Tapi kenapa gadis ini tidak mengatakan apa-apa? Apakah ia tidak mengenalinya?
“Kita pernah bertemu,” kata Tae-Woo. Ia tidak sedang bertanya. Ia benar-benar yakin, karena itu ia ingin melihat reaksi si gadis.
Gadis itu tertegun, lalu perlahan-lahan mengangkat kepala dan memandang Tae-Woo dengan ragu-ragu.
Tatapan yang ragu-ragu itu tidak salah lagi sama dengan tatapan gadis yang kemarin datang ke rumahnya. Tae-Woo menunggu si gadis mengatakan sesuatu.
Setelah hening beberapa detik, gadis itu hanya bergumam, “Oh?”
Tae-Woo kecewa karena gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. Ia hanya menatapnya dengan matanya yang besar. Gadis itu bodoh atau benar-benar tidak ingat lagi kejadian kemarin malam? Bukannya sombong, tapi Tae-Woo tidak habis pikir bagaimana seseorang bisa melupakan artis yang baru ia temui kemarin malam? Tae-Woo kesal karena justru dirinyalah yang ingat pada si gadis, sementara si gadis tampaknya sama sekali tidak ingat padanya. Bagaimana bisa? Atau sebenarnya ia tidak sepopuler yang ia kira? Apakah dunia sudah berubah tanpa sepengetahuannya?
“Kau datang ke rumahku kemarin malam karena ponselku tertukar dengan ponselmu,” kata Tae-Woo datar dan cepat, berusaha membantu ingatan gadis itu. Demi Tuhan, memangnya gadis ini menderita amnesia?
“Selamat siang. Maaf membuat Anda menunggu lama.”
Tae-Woo membuka mata. Gadis berambut sebahu dan bertopi merah memasuki ruangan sambil mendorong rak pakaian beroda. Gadis itu membungkuk hormat. Tae-Woo berdiri dan membungkuk sedikit untuk membalas sapaannya.
“Mister Kim meminta saya membawakan pakaian-pakaian ini untuk Anda. Silakan dicoba.” Gadis itu mendorong rak hingga ke ujung ruangan, ke dekat bilik ganti. Ia mengeluarkan salah satu pakaian dari gantungan dan mengulurkannya kepada Tae-Woo. “Silakan dicoba di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah bilik yang tertutup tirai tebal.
Ada perasaan janggal yang mengusik Tae-Woo, tapi ia tidak tahu apa yang membuatnya merasa seperti itu. Ia menerima pakaian yang disodorkan dan beranjak ke bilik ganti.
Selesai mengenakan pakaian, Tae-Woo menyibakkan tirai. Tepat pada saat itu ia melihat gadis yang membawakan pakaian tadi sedang duduk di kursi bulat di samping sofa. Topi merahnya dilepas dan gadis itu sedang menyisir rambutnya yang agak ikal dengan jari-jari tangan. Tae-Woo tertegun dan menatap gadis itu. Itulah kali pertama ia melihat jelas wajah si gadis sejak ia masuk bersama rak pakaian.
Tiba-tiba gadis itu menoleh dengan wajah terkejut, sepertinya ia menyadari sedang diperhatikan. Ia cepat-cepat mengenakan kembali topinya dan berdiri. “Bagaimana? Apakah pakaiannya cocok? Anda suka?”
Bukankah ia gadis yang kemarin ditemuinya? Tidak salah lagi. Tae-Woo masih ingat wajah gadis itu. Wajah yang lelah dan pucat. Gadis yang berdiri di hadapannya ini memang gadis yang kemarin. Wajahnya masih terlihat lelah dan pucat. Tapi kenapa gadis ini tidak mengatakan apa-apa? Apakah ia tidak mengenalinya?
“Kita pernah bertemu,” kata Tae-Woo. Ia tidak sedang bertanya. Ia benar-benar yakin, karena itu ia ingin melihat reaksi si gadis.
Gadis itu tertegun, lalu perlahan-lahan mengangkat kepala dan memandang Tae-Woo dengan ragu-ragu.
Tatapan yang ragu-ragu itu tidak salah lagi sama dengan tatapan gadis yang kemarin datang ke rumahnya. Tae-Woo menunggu si gadis mengatakan sesuatu.
Setelah hening beberapa detik, gadis itu hanya bergumam, “Oh?”
Tae-Woo kecewa karena gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. Ia hanya menatapnya dengan matanya yang besar. Gadis itu bodoh atau benar-benar tidak ingat lagi kejadian kemarin malam? Bukannya sombong, tapi Tae-Woo tidak habis pikir bagaimana seseorang bisa melupakan artis yang baru ia temui kemarin malam? Tae-Woo kesal karena justru dirinyalah yang ingat pada si gadis, sementara si gadis tampaknya sama sekali tidak ingat padanya. Bagaimana bisa? Atau sebenarnya ia tidak sepopuler yang ia kira? Apakah dunia sudah berubah tanpa sepengetahuannya?
“Kau datang ke rumahku kemarin malam karena ponselku tertukar dengan ponselmu,” kata Tae-Woo datar dan cepat, berusaha membantu ingatan gadis itu. Demi Tuhan, memangnya gadis ini menderita amnesia?
***
Sandy memerhatikan Jung Tae-Woo masuk ke bilik ganti dan menarik tirai. Ia mengembuskan napas lega dan duduk di kursi bulat yang empuk. Laki-laki itu teryata memang tidak mengenalinya. Sandy melepaskan topi dan memegang pipinya dengan sebelah tangan. Lelah sekali. Semoga saja sampai pekerjaannya selesai Jung Tae-Woo tidak akan mengenalinya. Ia menyisir rambut dengan jari-jari tangan sambil melamun. Tiba-tiba ia melihat Jung Tae-Woo sudah berdiri di sana sambil memerhatikannya. Sandy tersentak dan segera memakai topinya kembali.
“Bagaimana? Apakah pakaiannya cocok? Anda suka?” tanyanya dengan nada yang dibuat riang dan sopan.
“Kita pernah bertemu.”
Sandy bergeming. Ia menggigit bibir. Ternyata Jung Tae-Woo mengenalinya. Bagaimana sekarang? Mengaku saja? Tapi kalau baru mengaku sekarang akan terasa aneh. Akhirnya ia hanya bisa bergumam tidak jelas.
“Kau datang ke rumahku kemarin malam karena ponselku tertukar dengan ponselmu,” kata Jung Tae-Woo lagi. Nada suaranya datar.
Baiklah, ia tidak bisa mengelak lagi. Sandy memaksakan seulas senyum. “Oh, ya, benar. Apa kabar?”
Hanya itu yang bisa dipikirkannya. Sandy memarahi dirinya sendiri dalam hati.
Jung Tae-Woo memandangnya dengan tatapan aneh, lalu memalingkan wajah dan mendengus pelan. “Ternyata ingat juga,” gumamnya.
Sandy mengangkat alis. “Ya?”
Jung Tae-Woo kembali menatapnya dan berkata, “Jadi kau bekerja di sini?”
“Ya… bisa dibilang begitu,” jawab Sandy. Ia lega sekarang. Setidaknya ia tidak perlu menundukkan kepala lagi. Tidak perlu menyembunyikan wajah lagi.
“Foto di tabloid itu… Kau sudah melihatnya?” tanya Jung Tae-Woo.
Sandy menelan ludah. Ini dia. Apakah Jung Tae-Woo menyangka ia berada di balik semua ini?
“Bagaimana? Apakah pakaiannya cocok? Anda suka?” tanyanya dengan nada yang dibuat riang dan sopan.
“Kita pernah bertemu.”
Sandy bergeming. Ia menggigit bibir. Ternyata Jung Tae-Woo mengenalinya. Bagaimana sekarang? Mengaku saja? Tapi kalau baru mengaku sekarang akan terasa aneh. Akhirnya ia hanya bisa bergumam tidak jelas.
“Kau datang ke rumahku kemarin malam karena ponselku tertukar dengan ponselmu,” kata Jung Tae-Woo lagi. Nada suaranya datar.
Baiklah, ia tidak bisa mengelak lagi. Sandy memaksakan seulas senyum. “Oh, ya, benar. Apa kabar?”
Hanya itu yang bisa dipikirkannya. Sandy memarahi dirinya sendiri dalam hati.
Jung Tae-Woo memandangnya dengan tatapan aneh, lalu memalingkan wajah dan mendengus pelan. “Ternyata ingat juga,” gumamnya.
Sandy mengangkat alis. “Ya?”
Jung Tae-Woo kembali menatapnya dan berkata, “Jadi kau bekerja di sini?”
“Ya… bisa dibilang begitu,” jawab Sandy. Ia lega sekarang. Setidaknya ia tidak perlu menundukkan kepala lagi. Tidak perlu menyembunyikan wajah lagi.
“Foto di tabloid itu… Kau sudah melihatnya?” tanya Jung Tae-Woo.
Sandy menelan ludah. Ini dia. Apakah Jung Tae-Woo menyangka ia berada di balik semua ini?
“Sudah…,” sahutnya ragu, lalu cepat-cepat menambahkan sambil menggoyang-goyangkan tangan, “tapi bukan aku… Maksudku, aku tidak ada hubungannya dengan itu. Sungguh.”
Jung Tae-Woo tertawa kecil. “Kami juga berpikir begitu. Lagi pula sebenarnya foto-foto itu malah membantuku.”
Sandy tidak mengerti.
“Kau sering membaca tabloid?” tanya Tae-Woo.
Sandy menggeleng. Ia tidak punya waktu untuk itu. Lagi pula ia sama sekali tidak perlu membaca tabloid untuk tahu gosip seputar artis. Temannya, Kang Young-Mi, adalah tabloid berjalan. Kang Young-Mi tahu semua yang terjadi dalam dunia artis. Apa pun yang ia ketahui pasti akan diceritakannya kepada Sandy, tidak peduli Sandy sebenarnya mau tahu atau tidak.
Jung Tae-Woo mengangguk-angguk. “Hm, berarti kau tidak tahu-menahu soal gosip tentang diriku.”
“Gosip gay itu?” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Sandy tanpa diproses di otaknya terlebih dahulu.
Jung Tae-Woo menatapnya. “Bukannya kau tadi bilang kau tidak membaca tabloid?”
Sandy memiringkan kepala dengan salah tingkah. “Temanku yang menceritakannya padaku.”
“Ternyata banyak orang yang sudah tahu.” Jung Tae-Woo mendesah. “Bagaimanapun, foto-foto itu sudah membantuku mengatasi gosip.”
Sandy hanya mengangguk-angguk tidak acuh, namun ia terkejut ketika laki-laki di hadapannya itu mendadak berpaling ke arahnya dengan wajah berseri-seri.
“Han Soon-Hee ssi—namamu Han Soon-Hee, bukan?” tanyanya cepat. Tanpa menunggu jawaban Sandy, ia meneruskan, “Karena kau sudah membantuku satu kali, bagaimana kalau kau membantuku lagi?”
Sandy mundur selangkah. “Bantu… apa?”
“Jadi pacarku.”
“A-apa?!”
Jung Tae-Woo tertawa kecil. “Kami juga berpikir begitu. Lagi pula sebenarnya foto-foto itu malah membantuku.”
Sandy tidak mengerti.
“Kau sering membaca tabloid?” tanya Tae-Woo.
Sandy menggeleng. Ia tidak punya waktu untuk itu. Lagi pula ia sama sekali tidak perlu membaca tabloid untuk tahu gosip seputar artis. Temannya, Kang Young-Mi, adalah tabloid berjalan. Kang Young-Mi tahu semua yang terjadi dalam dunia artis. Apa pun yang ia ketahui pasti akan diceritakannya kepada Sandy, tidak peduli Sandy sebenarnya mau tahu atau tidak.
Jung Tae-Woo mengangguk-angguk. “Hm, berarti kau tidak tahu-menahu soal gosip tentang diriku.”
“Gosip gay itu?” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Sandy tanpa diproses di otaknya terlebih dahulu.
Jung Tae-Woo menatapnya. “Bukannya kau tadi bilang kau tidak membaca tabloid?”
Sandy memiringkan kepala dengan salah tingkah. “Temanku yang menceritakannya padaku.”
“Ternyata banyak orang yang sudah tahu.” Jung Tae-Woo mendesah. “Bagaimanapun, foto-foto itu sudah membantuku mengatasi gosip.”
Sandy hanya mengangguk-angguk tidak acuh, namun ia terkejut ketika laki-laki di hadapannya itu mendadak berpaling ke arahnya dengan wajah berseri-seri.
“Han Soon-Hee ssi—namamu Han Soon-Hee, bukan?” tanyanya cepat. Tanpa menunggu jawaban Sandy, ia meneruskan, “Karena kau sudah membantuku satu kali, bagaimana kalau kau membantuku lagi?”
Sandy mundur selangkah. “Bantu… apa?”
“Jadi pacarku.”
“A-apa?!”
***
Tae-Woo agak kaget mendengar pekikan gadis itu, tapi ia bisa memakluminya.
“Begini, biar kuganti kalimat permintaanku,” katanya sambil berkacak pinggang dan berpikir-pikir. Kemudian ia mengangkat wajah dan menatap Sandy. “Aku hanya ingin memintamu berfoto denganku sebagai pacarku.”
“Begini, biar kuganti kalimat permintaanku,” katanya sambil berkacak pinggang dan berpikir-pikir. Kemudian ia mengangkat wajah dan menatap Sandy. “Aku hanya ingin memintamu berfoto denganku sebagai pacarku.”
Sandy mengerjap-ngerjapkan mata dengan bingung. Tae-Woo cepat-cepat menjelaskan. Ia sangat menyadari alis gadis itu terangkat ketika mendengarkan ceritanya.
“Hanya berfoto. Bagaimana?” tanya Tae-Woo di akhir penjelasannya. Ia menatap Sandy yang masih tercengang. Kenapa tiba-tiba ia merasa seolah sedang disidang di pengadilan? Ia sangat penasaran apa yang akan dikatakan gadis itu, apa jawabannya.
Kalimat pertama yang keluar dari mulut Sandy adalah, “Kenapa aku?”
Pertanyaan yang bagus. “Tidak ada alasan khusus,” sahut Tae-Woo santai. “Kupikir kau mungkin mau membantuku. Bagaimanapun kita sudah pernah difoto bersama walaupun tanpa sengaja.”
Sandy masih terlihat bingung, tapi Tae-Woo melihat kening gadis itu berkerut, tanda sedang mempertimbangkan usul yang ia ajukan. Setidaknya Sandy tidak langsung menolak mentah-mentah.
Tae-Woo cepat-cepat mengambil kesempatan itu untuk menambahkan, “Kalau kau mau, anggap saja aku menawarkan pekerjaan kepadamu. Tidak akan mengganggu pekerjaanmu yang sekarang. Kau masih kuliah? Kuliahmu juga tidak akan terganggu.”
“Memangnya aku terlihat seperti sedang butuh pekerjaan?” tanya Sandy datar. “Atau butuh uang?”
Tae-Woo terdiam. Ia memandang Sandy dari kepala sampai ke ujung kaki. Tidak, gadis ini memang sudah punya pekerjaan dan dilihat dari cara berpakaiannya, ia tidak tampak seperti gadis yang kekurangan uang.
“Memang tidak,” Tae-Woo mengakui. “Begini saja, aku akan memberimu apa pun yang kauinginkan kalau kau bersedia membantuku.”
“Hanya untuk berfoto bersama?” tanya Sandy memastikan.
“Begitulah rencananya,” jawab Tae-Woo pasti. Ia mulai merasa tidak percaya diri melihat tanggapan gadis itu. Apa yang sedang dipertimbangkannya? Yah, mungkin memang karena pada dasarnya Han Soon-Hee bukanlah salah satu penggemarnya. Jadi, tidak aneh kalau gadis itu tidka antusias dengan gagasan ini.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel. Otomatis Tae-Woo merogoh saku bagian dalam jasnya. Pada saat yang sama Sandy juga merogoh tas tangannya yang terletak di meja. Ternyata yang berdering ponsel milik gadis itu. Tae-Woo baru ingat ponsel Sandy sama dengan ponsel miliknya. Bahkan nada deringnya juga persis sama. Mungkin salah satu dari mereka harus segera mengganti nada dering.
Sandy menatap ponselnya, membuka flap-nya, tapi langsung menutupnya lagi tanpa dijawab terlebih dulu. Rasa ingin tahu Tae-Woo bertambah ketika ia melihat gadis itu melepaskan baterai ponselnya kemudian kembali menyimpan tas beserta baterainya itu ke tas. Siapa yang meneleponnya tadi? Tidak tampak ekspresi apa pun di wajahnya. Tapi sepertinya Sandy tidak berniat memberikan penjelasan atas tidakannya barusan.
“Mau membantu, kan?” Tae-Woo akhirnya membuka suara setelah mereka berdua terdiam beberapa saat.
Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap Tae-Woo. “Baiklah, asalkan wajahku tidak terlihat.”
Udara di sekeliling Tae-Woo jadi terasa lebih ringan. Ia mengembuskan napas pelan dan tersenyum lega. Meminta bantuan Sandy ternyata tidak sesulit dugaannya. Tidak ada syarat yang aneh-aneh. Kalau sekadar merahasiakan identitas, ia bisa memaklumi itu. Gadis ini tentu saja tidak ingin berurusan dengan wartawan.
“Terima kasih. Kuharap kau tidak akan memberitahu orang lain tentang kesepakan kita ini, bahkan orangtuamu sekalipun. Aku tidak ingin menciptakan skandal yang lebih parah. Aku bisa memercayaimu, kan?”
“Mm, aku mengerti,” kata Sandy menyanggupi. Tapi begitu melihat matanya yang agak menerawang, Tae-Woo jadi kurang yakin apakah gadis itu benar-benar memahami kata-katanya.
Pada saat itu pintu terbuka dan mereka berdua menoleh. Ternyata yang masuk Park Hyun-Shik. Sang manajer memandang mereka berdua dengan tatapan bertanya-tanya, lalu setelah beberapa saat wajahnya menjadi cerah.
“Oh, kau yang kemarin itu?” tanya Park Hyun-Shik sambil menghampiri Sandy.
Tae-Woo tersenyum lebar. “Hyong, dia bersedia menjadi pacarku.”
Senyum manajernya langsung lenyap. “Maksudmu?”
“Yang Hyong katakan kemarin… soal foto… aku sudah memikirkannya,” kata Tae-Woo, masih tetap tersenyum. “Kita lakukan saja. Dia juga sudah bersedia membantu. Memang tidak persis seperti rencana yang Hyong usulkan kemarin.”
Park Hyun-Shik terlihat bingung. “Soal yang kemarin…?” Ia terdiam sebentar, lalu, “Astaga, kau serius?”
“Akan kujelaskan lebih lanjut pada Hyong nanti,” kata Tae-Woo sambil menepuk-nepuk pundak manajernya. “Kita lanjutkan pekerjaan kita dulu. Bukankah kita ke sini karena aku harus mencoba semua pakaian ini?”
“Hanya berfoto. Bagaimana?” tanya Tae-Woo di akhir penjelasannya. Ia menatap Sandy yang masih tercengang. Kenapa tiba-tiba ia merasa seolah sedang disidang di pengadilan? Ia sangat penasaran apa yang akan dikatakan gadis itu, apa jawabannya.
Kalimat pertama yang keluar dari mulut Sandy adalah, “Kenapa aku?”
Pertanyaan yang bagus. “Tidak ada alasan khusus,” sahut Tae-Woo santai. “Kupikir kau mungkin mau membantuku. Bagaimanapun kita sudah pernah difoto bersama walaupun tanpa sengaja.”
Sandy masih terlihat bingung, tapi Tae-Woo melihat kening gadis itu berkerut, tanda sedang mempertimbangkan usul yang ia ajukan. Setidaknya Sandy tidak langsung menolak mentah-mentah.
Tae-Woo cepat-cepat mengambil kesempatan itu untuk menambahkan, “Kalau kau mau, anggap saja aku menawarkan pekerjaan kepadamu. Tidak akan mengganggu pekerjaanmu yang sekarang. Kau masih kuliah? Kuliahmu juga tidak akan terganggu.”
“Memangnya aku terlihat seperti sedang butuh pekerjaan?” tanya Sandy datar. “Atau butuh uang?”
Tae-Woo terdiam. Ia memandang Sandy dari kepala sampai ke ujung kaki. Tidak, gadis ini memang sudah punya pekerjaan dan dilihat dari cara berpakaiannya, ia tidak tampak seperti gadis yang kekurangan uang.
“Memang tidak,” Tae-Woo mengakui. “Begini saja, aku akan memberimu apa pun yang kauinginkan kalau kau bersedia membantuku.”
“Hanya untuk berfoto bersama?” tanya Sandy memastikan.
“Begitulah rencananya,” jawab Tae-Woo pasti. Ia mulai merasa tidak percaya diri melihat tanggapan gadis itu. Apa yang sedang dipertimbangkannya? Yah, mungkin memang karena pada dasarnya Han Soon-Hee bukanlah salah satu penggemarnya. Jadi, tidak aneh kalau gadis itu tidka antusias dengan gagasan ini.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel. Otomatis Tae-Woo merogoh saku bagian dalam jasnya. Pada saat yang sama Sandy juga merogoh tas tangannya yang terletak di meja. Ternyata yang berdering ponsel milik gadis itu. Tae-Woo baru ingat ponsel Sandy sama dengan ponsel miliknya. Bahkan nada deringnya juga persis sama. Mungkin salah satu dari mereka harus segera mengganti nada dering.
Sandy menatap ponselnya, membuka flap-nya, tapi langsung menutupnya lagi tanpa dijawab terlebih dulu. Rasa ingin tahu Tae-Woo bertambah ketika ia melihat gadis itu melepaskan baterai ponselnya kemudian kembali menyimpan tas beserta baterainya itu ke tas. Siapa yang meneleponnya tadi? Tidak tampak ekspresi apa pun di wajahnya. Tapi sepertinya Sandy tidak berniat memberikan penjelasan atas tidakannya barusan.
“Mau membantu, kan?” Tae-Woo akhirnya membuka suara setelah mereka berdua terdiam beberapa saat.
Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap Tae-Woo. “Baiklah, asalkan wajahku tidak terlihat.”
Udara di sekeliling Tae-Woo jadi terasa lebih ringan. Ia mengembuskan napas pelan dan tersenyum lega. Meminta bantuan Sandy ternyata tidak sesulit dugaannya. Tidak ada syarat yang aneh-aneh. Kalau sekadar merahasiakan identitas, ia bisa memaklumi itu. Gadis ini tentu saja tidak ingin berurusan dengan wartawan.
“Terima kasih. Kuharap kau tidak akan memberitahu orang lain tentang kesepakan kita ini, bahkan orangtuamu sekalipun. Aku tidak ingin menciptakan skandal yang lebih parah. Aku bisa memercayaimu, kan?”
“Mm, aku mengerti,” kata Sandy menyanggupi. Tapi begitu melihat matanya yang agak menerawang, Tae-Woo jadi kurang yakin apakah gadis itu benar-benar memahami kata-katanya.
Pada saat itu pintu terbuka dan mereka berdua menoleh. Ternyata yang masuk Park Hyun-Shik. Sang manajer memandang mereka berdua dengan tatapan bertanya-tanya, lalu setelah beberapa saat wajahnya menjadi cerah.
“Oh, kau yang kemarin itu?” tanya Park Hyun-Shik sambil menghampiri Sandy.
Tae-Woo tersenyum lebar. “Hyong, dia bersedia menjadi pacarku.”
Senyum manajernya langsung lenyap. “Maksudmu?”
“Yang Hyong katakan kemarin… soal foto… aku sudah memikirkannya,” kata Tae-Woo, masih tetap tersenyum. “Kita lakukan saja. Dia juga sudah bersedia membantu. Memang tidak persis seperti rencana yang Hyong usulkan kemarin.”
Park Hyun-Shik terlihat bingung. “Soal yang kemarin…?” Ia terdiam sebentar, lalu, “Astaga, kau serius?”
“Akan kujelaskan lebih lanjut pada Hyong nanti,” kata Tae-Woo sambil menepuk-nepuk pundak manajernya. “Kita lanjutkan pekerjaan kita dulu. Bukankah kita ke sini karena aku harus mencoba semua pakaian ini?”
***
Sandy keluar dari tempatnya bekerja dengan langkah gamang seolah setengah sadar. Tugasnya mencocokkan pakaian Jung Tae-Woo sudah selesai, tapi otaknya seakan masih tertinggal sebagian di butik itu. Ia berjalan dengan langkah lambat, membelok di ujung jalan, lalu langkah kakinya terhenti.
“Apa yang sudah kulakukan?” ia bertanya pada dirinya sendiri sambil memegang pipi dengan sebelah tangan.
Sandy harus berusaha keras menenangkan diri karena jantungnya berdebar kencang sekali. Sejak tadi ia berjuang supaya rasa gugupnya tidak terlihat oleh kedua pria itu. Perasaan canggung saat Jung Tae-Woo menjelaskan rencananya kepada si manajer sementara pria itu mencoba pakaian tadi bahkan masih bisa ia rasakan hingga kini.
Si manajer agak bimbang. Ia banyak bertanya pada Sandy, selain itu juga berulang kali menekankan bahwa masalah ini tidak boleh sampai diketahui orang lain. Tentu saja Sandy mengerti. Diam-diam, sambil mendengarkan pesan Park Hyun-Shik, Sandy mengamatinya. Pria yang satu itu benar-benar memiliki daya tarik. Cara bicaranya menyenangkan, senyumnya menawan, dan matanya ramah. Sandy tahu Hyun-Shik bertanya-tanya kenapa ia mau begitu saja membantu Jung Tae-Woo, tapi ia pura-pura bodoh. Pada awalnya Sandy memang agak ragu dengan tawaran Tae-Woo, tapi akhirnya rasa penasarannyalah yang menang. Ia meyakinkan dirinya ini jalan yang tepat. Ini mungkin kesempatan yang telah lama dinantinya untuk mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama menghantui….
Lagi pula menurutnya pekerjaan yang ditawarkan kepadanya tidak susah. Ia hanya perlu difoto bersama Jung Tae-Woo. Bukan masalah. Ia pasti bisamelakukannya. Ia sadar kesepakatan ini akan membuatnya sering bertemu Jung Tae-Woo, tapi ini bukan masalah, toh ia tidak merasakan apa-apa terhadap artis itu. Nilai tambah lain, kalau ia sering bersama Jung Tae-Woo, ia akan tahu dan mengerti kenapa teman dekatnya juga banyak wanita lain bisa tergila-gila pada pria itu.
“Baiklah,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku pasti bisa melakukannya. Ah, astaga! Aku lupa minta tanda tangan Jung Tae-Woo untuk Young-Mi.”
Sandy merogoh tasnya untuk mencari ponsel, tapi kemudian berhenti. Apakah sebaiknya aku tidak memberitahu Young-Mi aku bertemu Tae-Woo tadi? Dia pasti kesal karena aku lupa meminta tanda tangan lagi. Tapi ia pasti bakal jadi lebih kesal kalau tahu aku menyembunyikan soal pertemuan ini…
Sandy melanjutkan mencari ponselnya di tas tangannya dan menemukan baterai ponsel yang tadi ia lepas. Mendadak ia jadi teringat Lee Jeong-Su tadi meneleponnya. Mudah-mudahan Jeong-Su bisa mengerti kenapa ia tidak bisa menerima telepon tadi. Eh… tunggu dulu, kalau dipikir-pikir lagi, kenapa ia harus merasa bersalah? Mana ada orang yang bisa menjawab telepon kalau sedang berada dalam situasi seperti tadi? Lagi pula sepanjang pengalamannya, kalau Lee Jeong-Su yang menelepon, pasti bukan karena ada hal penting.
Kenapa Lee Jeong-Su masih terus menghubunginya? Bukankah pria itu sendiri yang meminta putus hubungan? Orang aneh!
Sandy harus berusaha keras menenangkan diri karena jantungnya berdebar kencang sekali. Sejak tadi ia berjuang supaya rasa gugupnya tidak terlihat oleh kedua pria itu. Perasaan canggung saat Jung Tae-Woo menjelaskan rencananya kepada si manajer sementara pria itu mencoba pakaian tadi bahkan masih bisa ia rasakan hingga kini.
Si manajer agak bimbang. Ia banyak bertanya pada Sandy, selain itu juga berulang kali menekankan bahwa masalah ini tidak boleh sampai diketahui orang lain. Tentu saja Sandy mengerti. Diam-diam, sambil mendengarkan pesan Park Hyun-Shik, Sandy mengamatinya. Pria yang satu itu benar-benar memiliki daya tarik. Cara bicaranya menyenangkan, senyumnya menawan, dan matanya ramah. Sandy tahu Hyun-Shik bertanya-tanya kenapa ia mau begitu saja membantu Jung Tae-Woo, tapi ia pura-pura bodoh. Pada awalnya Sandy memang agak ragu dengan tawaran Tae-Woo, tapi akhirnya rasa penasarannyalah yang menang. Ia meyakinkan dirinya ini jalan yang tepat. Ini mungkin kesempatan yang telah lama dinantinya untuk mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama menghantui….
Lagi pula menurutnya pekerjaan yang ditawarkan kepadanya tidak susah. Ia hanya perlu difoto bersama Jung Tae-Woo. Bukan masalah. Ia pasti bisamelakukannya. Ia sadar kesepakatan ini akan membuatnya sering bertemu Jung Tae-Woo, tapi ini bukan masalah, toh ia tidak merasakan apa-apa terhadap artis itu. Nilai tambah lain, kalau ia sering bersama Jung Tae-Woo, ia akan tahu dan mengerti kenapa teman dekatnya juga banyak wanita lain bisa tergila-gila pada pria itu.
“Baiklah,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku pasti bisa melakukannya. Ah, astaga! Aku lupa minta tanda tangan Jung Tae-Woo untuk Young-Mi.”
Sandy merogoh tasnya untuk mencari ponsel, tapi kemudian berhenti. Apakah sebaiknya aku tidak memberitahu Young-Mi aku bertemu Tae-Woo tadi? Dia pasti kesal karena aku lupa meminta tanda tangan lagi. Tapi ia pasti bakal jadi lebih kesal kalau tahu aku menyembunyikan soal pertemuan ini…
Sandy melanjutkan mencari ponselnya di tas tangannya dan menemukan baterai ponsel yang tadi ia lepas. Mendadak ia jadi teringat Lee Jeong-Su tadi meneleponnya. Mudah-mudahan Jeong-Su bisa mengerti kenapa ia tidak bisa menerima telepon tadi. Eh… tunggu dulu, kalau dipikir-pikir lagi, kenapa ia harus merasa bersalah? Mana ada orang yang bisa menjawab telepon kalau sedang berada dalam situasi seperti tadi? Lagi pula sepanjang pengalamannya, kalau Lee Jeong-Su yang menelepon, pasti bukan karena ada hal penting.
Kenapa Lee Jeong-Su masih terus menghubunginya? Bukankah pria itu sendiri yang meminta putus hubungan? Orang aneh!
Sandy memasang baterai ponselnya kembali dan baru akan menghubungi Young-Mi ketika ia teringat janjinya. Aah… benar juga, aku sudah berjanji pada Park Hyun-Shik ssi tidak akan menceritakan masalah ini pada orang lain. Ah, bagaimana ini? Yah… apa boleh buat…
Ia kembali memasukkan ponsel itu ke tas tangannya, lalu ia mendongak menatap langit yang biru dan bergumam, “Baiklah, Sandy. Semoga keputusanmu ini ada gunanya. Aja aja, fighting*!”
Sekarang ia harus pulang dan tidur dulu untuk mengumpulkan tenaga. Ia sudah berjanji akan menemui kedua pria itu nanti malam.
Ia kembali memasukkan ponsel itu ke tas tangannya, lalu ia mendongak menatap langit yang biru dan bergumam, “Baiklah, Sandy. Semoga keputusanmu ini ada gunanya. Aja aja, fighting*!”
Sekarang ia harus pulang dan tidur dulu untuk mengumpulkan tenaga. Ia sudah berjanji akan menemui kedua pria itu nanti malam.
*figthing : ayo semangat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar